MENGHUBUNGKAN BERBAGAI MACAM TEORI
BELAJAR/ALUR PIKIR SISWA
Teori behavioristik menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan
model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode
pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon
(Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru
kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan
karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah
stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus)
dan apa yang diterima oleh siswa (respon)
harus dapat diamati dan diukur.
Berbeda dengan pendapat Albert
Bandura, dalam teori kognisi sosial memahami
perilaku manusia kita harus memahami bahwa manusia dapat berpikir dan mengatur
tingkah lakunya sendiri. Selain itu, banyak aspek fungsi kepribadian yang
melibatkan interaksi individu dengan individu lainnya. Perilaku seseorang
adalah hasil interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan. Salah satu asumsi awal yang mendasasi teori kognitif sosial Bandura adalah
manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari beragam kecakapan bersikap
maupun berperilaku. Dan titik pembelajaran terbaik dari semua adalah
pengalaman-pengalaman tak terduga.
Sedangkan
menurut teori Cognitive
Information Processing/pemrosesan
informasi (Robert Gagne) bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi
internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan
dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses
kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah
rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses
pembelajaran. Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar
yang menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan
dari otak.
Pendapat lain dari Ausebel, Teori
Ausebel lebih memperhatikan bagaimana individu belajar sejumlah materi pembelajaran secara
bermakna dari suatu sajian berbentuk verbal/teks di sekolah (berbeda dengan teori-tori yang
dikembangkan dalam konteks percobaan-percobaan yang dilaksanakan
di laboratorium). Menurut Ausebel, belajar dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) dimensi. Dimensi pertama,
berhubungan dengan cara bagaimana informasi/materi pembelajaran
tersebut disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua,
menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitifnya
(berupa fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari
dan diingat siswa) yang telah ada. Kedua dimensi
tersebut, yaitu penerimaan/penemuan
dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan
suatu kontinuum.
Menurut Piaget Seorang
individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan
berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema
berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami
dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang
terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan
Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan
pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan,
informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau
mengganti skema yang sebelumnya ada. Asimilasi adalah proses
menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Akomodasi adalah
bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema
akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada.
Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan
berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses
penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai
keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur
kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya
agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses
penyesuaian di atas. Dengan
demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari
luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi
pengetahuannya.
Teori social formation menyebutkan sebuah
formasi sosial mengacu pada masyarakat dengan
segala kompleksitasnya, karena dibentuk secara historis. Ini mencakup
semua kontradiksi internal yang ada di masyarakat, semua kecenderungan yang
muncul dan menghilang dalam ekonomi dan suprastruktur, dalam hubungan sosial
yang terdiri dari ini. Salah satu
unsur yang menentukan formasi sosial adalah kecenderungan yang muncul dari cara
produksi (apa yang timbul vs apa yang menurun). Ini mencakup semua kontradiksi antara modus yang berbeda dari produksi,
serta dalam mode tertentu produksi, dan dalam mode produksi baru yang mencoba
untuk tampil atau melakukan (seperti bisnis narkoba membangun formasi sosial
sendiri: negara sendiri, militer , suprastruktur, produksi, distribusi) -
bahkan ketika ini dapat terjalin, untuk berbagai tingkat, dengan formasi sosial
yang lebih besar di mana itu ada.
Berbeda dengan teori Bruner tentang discovery
learning. Belajar penemuan dari Jerome Bruner adalah model
pengajaran yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivis. Di
dalam discovery learning siswa didorong untuk belajar sendiri
secara mandiri. Siswa terlibat aktif dalam penemuan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip melalaui pemecahan masalah atau hasil abstraksi sebagai objek
budaya. Guru mendorong dan memotivasi siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan
melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka untuk menemukan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip untuk mereka sendiri.
Pembelajaran ini dapat membangkitkan rasa keingintahuan siswa. Di dalam proses belajar Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap
siswa dam mengenal dengan baik adalanya perbedaan kemampuan
Salah
satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian
dari teori kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan teori
kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun
dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori
kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang
anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari
teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam
pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan
skemata yang dimilikinya.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif
ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa
belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun
fisik. bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme
lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman
mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan
dan dilakukan oleh guru.
Teori
konstruktivisme pada dasarnya menekankan pembinaan konsep yang asas sebelum
konsep itu dibangunkan dan kemudiannya diaplikasikan apabila diperlukan. Beda dengan teori
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat
mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih
memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain,
karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya.
Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses
asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk
suatu skema yang baru. Teori
konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan
pada proses daripada hasil. Dengan demikian,
belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi
proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil
”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari
”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui
proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan
makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam
setiap individu.
Vygotsky, yang menyatakan bahwa
siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan
sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial. Ada dua konsep penting
dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD)
dan scaffolding. Prinsip yang paling penting
adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa.
Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat
membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa
agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya
dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
Teori pembelajaran sosial menjelaskan
perilaku manusia dalam hal interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara
kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Siswa belajar
melalui pengamatan perilaku orang lain, sikap, dan hasil dari perilaku
tersebut. “Kebanyakan perilaku manusia dipelajari observasional melalui
pemodelan yaitu dari mengamati orang lain. Kemudian hasilnya berfungsi sebagai
panduan untuk bertindak.”
Menurut Bandura ketika siswa belajar mereka dapat
merepresentasikan atau mentrasformasi pengalaman mereka secara kognitif.
Bandura mengembangkan model deterministik resipkoral yang terdiri dari tiga
faktor utama yaitu perilaku, person/kognitif dan lingkungan. Faktor ini bisa
saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan memengaruhi
perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan, faktor person/kognitif memengaruhi
perilaku. Faktor person Bandura tak punya kecenderungan kognitif terutama pembawaan
personalitas dan temperamen. Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan,
strategi pemikiran dan kecerdasan.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses
perkembangan sosial dan moral ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan
merespons) dan imitation (peniruan).
Menurut Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku
dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura
menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang
berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi
lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis
ini.
Teori belajar sosial kadang-kadang disebut jembatan
antara behavioris dan teori pembelajaran kognitif karena meliputi perhatian,
memori, dan motivasi. Teori ini terkait dengan Social Development Theory and Lave’s Vygotsky di mana
ketika belajar juga menekankan pentingnya pembelajaran sosial. Teori belajar ini yang titik
tekan utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang
lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Development
(ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam
perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan
masalah yang dihadapinya Teori yang juga disebut sebagai
teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari
masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan
kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan
lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri
sendiri). Vygotsky berpendapat bahwa
menggunakan alat berfikir akan menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif
dalam diri seseorang. Inti dari teori belajar sosiokultur ini adalah penggunaan
alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan
sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya
kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Pada
penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosiokultur, guru berfungsi sebagai
motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan memiliki gairah untuk
berfikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan jalan keluar bila siswa
menemukan hambatan dalam proses berfikir, menejer yang mengelola sumber
belajar, serta sebagai rewarder yang memberikan penghargaan pada
prestasi yang dicapai siswa, sehingga mampu meningkatkan motivasi yang lebih
tinggi dari dalam diri siswa. Pada intinya, siswalah yang dapat menyelesaikan
permasalahannya sendiri untuk membangun ilmu pengetahuan. Dapat
disimpulkan bahwa dalam teori belajar sosiokultur, proses belajar tidak dapat
dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas
berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna
sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks
sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat
dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari
kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda.
Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu
dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di
mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi
sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
Sedangkan dalam proses
belajar mengajar kita tidak lepas dari peran teknologi. Technological Approach adalah kajian dan praktik untuk
membantu proses belajar dan
meningkatkan kinerja dengan membuat, menggunakan, dan mengelola proses dan
sumber teknologi yang memadai. Istilah teknologi pendidikan sering dihubungkan dengan
teori belajar dan pembelajaran. Bila teori
belajar dan pembelajaran mencakup proses dan sistem dalam belajar dan
pembelajaran, teknologi pendidikan
mencakup sistem lain yang digunakan dalam proses mengembangkan kemampuan
manusia. Teknologi membantu siswa dan guru dalam proses
penerimaan informasi dalam proses belajar mengajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar